Friday, October 19, 2012

Antara Realitas dan Hiperealitas



Simulasi bukan lagi wilayah, sebuah wujud, atau  subtansi refernsial. Ia adalah penciptaan  lewat model-model  suatu yang real, yang tanpa asal-usul realitas: sebuah hipereal. Wilayah tidak lagi mendahului peta yang mendahului wilayah—precession of simulacra. (Jean Baudrillard: Simulation, Semiotext<e>).


Ruang Modernisme dan Postmodernisme
Permulaan kata postmodernisme ini berawal dari gerakan kebudayaan, yang berusaha ‘mengingkari’ ruang modernisme. Gerakan kebudayaan sebagai pelopor pencarian model yang khas dalam modernisme, yaitu mencari dasar dari segala pengetahuan tentang “apa”nya realitas dari segala realitas. Berharap dari sebuah realitas yang didapatkan dari ‘representasi’ massa ke dalam ruang obyektif yang bisa dibayangkan dan memiliki identitas bentuk suatu masyarakat massa.
Realitas dalam postmodernisme merupakan suatu dari yang ‘pasti’ dan sebuah bentuk kesadaran massa, kesadaran dari bentuk postmodernisme berawal dari tradisi filsafat  yang berasal dari fenomenologi suatu keadaan massa pada masyarakat kontemporer. Postmodernisme sebagai bentuk kritik dari modernisme, dalam modernisme filsafat memang berpusat pada epistemologi, yang bersandar pada gagasan tentang subyektivitas realita.
Dalam modernisme, gagasan tentang subyektivitas dalam struktur filsafat tradisi modernisme memiliki ruang pemahaman antara subyektivitas masyarakat yang keterkaitan dengan struktur fenomenologi kehampaan dalam realitas atas tradisi ‘kekuasaan’ modernisme. Modernisme memiliki wilayah atau ruang  privat maupun publik yang mempunyai makna relasi antara subyek dan obyek.  Subyek dikonstruksi dalam relasi masyarakat tradisi menuju era modernisme. Pemaknaan antara relasi subyek masyarakat tradisi, masyarakat postmodernisme memiliki ruang dalam bentuk gerakan post-strukturalis yang dimaksudkan bahwa gerakan tersebut untuk melawan kritik suatu dimensi dalam filsafat.
Dimensi filsafat yang membentuk ruang postmodernisme melawan kontradiktif modernisme, modernisme sebagai bentuk masyarakat yang berasal dari kesadaran esensial diri. Kesadaran yang dapat membentuk suatu masyarakat post-modernisme antara realitas subyektif. Unsur-unsur subyektivitas yang mendasari modernisme, masyarakat yang merupakan unsur subyektif memiliki tujuan interaktif dalam masyarakat. Gerakan modernisme berawal dari gerakan masyarakat struktur fundamental yang menginginkan bentuk suatu kemapanan pada masyarakat yang melebihi segala realitas.

Realitas dan Imaji
Dalam sebuah persoalan postmodernisme, imaji merupakan sebuah bentuk dari segala realita yang mempunyai kedudukan dalam masyarakat kontemporer, imaji yang memiliki keterkaitan antara sebuah realitas memiliki umpan dalam sebuah wacana filsafat. Persoalannya apakah sebuah imaji mempunyai makna dalam sebuah masyarakat postmodernisme yang meliputi ruang makna simbol dalam struktur masyarakat. Imaji atau fantasikah yang mendasari simbol untuk manusia dalam memahami realitas. Imaji dalam masyarakat membentuk suatu ‘khayalan interpretatif’ atas keinginan manusia dalam memperoleh impian realitas. Realitas dari segala realitas, yang dapat membentuk sebuah image dalam pemahaman diskursif realitas.
Kenapa Realitas Dipersoalkan?
Awal dari realitas, mungkin mempersoalkan filsafat yang tidak dapat membentuk suatu jawaban tepat. Realitas dari filsafat merupakan cermin dari segala cermin yang memiliki esensi konteks hidup manusia. Cermin yang dapat membentuk realitas dari masyarakat, realitas filsafat dalam tradisi posmodernisme yang dari bentuknya esensial eksistensi diri humanis. Realitas yang merujuk tradisi humanis filsafat eksistensialisme menurut Sartre merupakan sebuah simbol dari gejala psikologi dalam imaji suatu individu. Imajinasi adalah suatu bentuk hasrat atau keinginan yang timbul atas individu untuk mencapai puncak kekayaan ‘bayangan’ yang diperoleh atas media di dalam diri identitasnya. Antara realitas dan imajinasi memiliki sebuah makna dalam suatu tradisi idenitas filsafat, yang memiliki ruang yang sama (Tedjoworo: 2001).  
Realitas dalam ruang yang terdapat simbol-simbol kultural terdapat dalam masyarakat postmodernis, realitas yang memiliki bentuk imaji suatu individu masyarakat kontemporer. Bentuk imaji yang terdiri dari realitas antara realitas simbol yang memiliki manisfestasi kultural obyektif realitas. Persoalan realitas tidak serumit dalam tradisi postmodernisme, realitas memiliki makna teks diskursif yang dikembangkan. Persoalan diskursif memiliki relasi-relasi kuasa dalam bentuk imajiner. Kekuatan imajinasi dalam setiap manusia memiliki bentuk-bentuk diskursif yang memberikan ruang gerak dalam tradisi wacana [diskursif], dengan memiliki tujuan esensi ‘pemetaan’ realitas. Apakah realitas selama ini dapat ‘dipercaya’ dalam suatu tradisi. Filsafat realitas yang memiliki hubungan paradoks antara  tradisi dan modernitas. Modernitas dalam memetakan sebuah konsep yang merupakan pendefenisian dari bentuk struktur antar hubungan dialogis yang bersifat inheren. Persoalan imaji dalam bentuk realitas postmodernis, gambaran atau bayangan dari suatu bentuk esensi yang memiliki nilai-nilai ‘plus’ dalam suatu massa.


Persoalan Postmodernisme
Setiap masyarakat dapat menentukan pembentukan atas suatu realitas, dalam hal tersebut mungkin memiliki bentuk suatu esensi atas setiap tindakan. Tindakan dalam suatu postmodernisme menentukan citra dalam bentuk diri. Sebagai istilah-payung memang postmodernisme dalam arti luas ini bisa terasa kosong, bisa diisi apapun juga. Akan tetapi barangkali ia mesti dilihat ibarat keranjang besar, kosong, meskipun keranjangnya ada. Dan itu sebetulnya sama saja dengan istilah “modern” sendiri, yang juga bisa diisi apapun juga.
Orang bisa menyebut teknologi modern, pola pikir modern, pesantren modern, bahkan gaya cukuran modern atau gudeg modern,dst. Dan orang bahkan bisa menyebut berbagai aliran filsafat yang satu sama lain saling bertentangan macam rasionalisme, empirisme, materialisme dan idealisme, semua sebagai filsafat “modern”, alias berada dalam satu keranjang yang sama. Artinya, keranjangnya toh ada. Ada kecenderungan-kecenderungan dasar yang sama.
Beberapa kecenderungan dasar umum postmodernisme yang bisa dianggap sebagai kerangka keranjang, misalnya, (1) kecenderungan menganggap segala klaim tentang ‘realitas’ (diri subyek, sejarah, budaya, Tuhan, dsb.) sebagai konstruksi semiotis, artifisial dan ideologis, (2) skeptis terhadap segala bentuk keyakinan tentang ‘substansi’ objektif (meski tidak selalu menentang konsep tentang universalitas), (3) realitas bisa ditangkap dan dikelola dengan banyak cara dan sistem (pluralisme), (4) paham tentang ‘sistem’ sendiri dengan konotasi otonom dan tertutupnya cenderung dianggap kurang relevan, diganti dengan ‘jaringan’, ‘relasionalitas’ ataupun ‘proses’ yang senantiasa saling-silang dan bergerak dinamis, (5) dengan begitu cara pandang yang melihat segala sesuatu dan sudut oposisi biner pun (either-or) dianggap tak lagi memuaskan; segala unsur ikut saling menentukan dalam interaksi jaringan dan proses (maka istilah ‘postmodernisme’ sendiri pun mesti dimengerti dalam interelasinya dengan ‘modernisme’, alih-alih melihatnya sebagai oposisi), (6) melihat secara holistik berbagai kemampuan (faculties) lain selain rasionalitas, misalnya, emosi, imajinasi, intuisi, spiritualitas, dsb., serta (7) menghargai segala hal ‘lain’ (otherness),yang lebih luas, yang selama ini tidak dibahas atau bahkan dipinggirkan oleh wacana modern (misal, kaum perempuan, tradisi-tradisi lokal, paranormal, agama, sehingga segala hal dan pengalaman yang selalu mengelak dan pola rumusan kita).
 Akan tetapi, keluasan memang berarti juga kekaburan. inilah memang masalahnya, kekaburan istilah ‘postmodern’ sebagian besar adalah karena kekaburan istilah ‘modern’ itu sendiri. ‘modern’ dalam arti mana yang dikritik ‘postmodernisme’ itu. Berbagai kekisruhan dalam menempatkan situasi mana dijalur mana berakar pada persoalan itu. Artinya, kendati postmodernisme bisa dicanangkan prinsip-prinsip dasarnya yang sama, membuatnya bisa mencakup demikian banyak aliran, toh selalu bisa juga dilihat perbedaan-perbedaannya pada tingkat rincian-rincian.
Donny Gahral Adian membedakan postmodernisme dari postmodernitas. Postmodernitas, tulisnya, merupakan istilah yang biasanya digunakan untuk menggambarkan realitas sosial masyarakat postindustri. Masyarakat postindustri adalah masyarakat yang ekonominya telah bergeser dari ekonomi manufaktur ke ekonomi jasa di mana ilmu pengetahuan memainkan peranan sentral. Postmodernitas ini ditandai dengan fenomena-fenomena, negara-bangsa pecah menjadi unit-unit yang lebih kecil atau melebur ke unit yang lebih besar, partai-partai politik besar menurun dan digantikan oleh gerakan-gerakan sosial, kelas sosial terfragmentasi dan menyebar ke kelompok-kelompok kepentingan yang memfokuskan diri pada gender-etnisitas-atau orientasi seksual, serta prinsip kesenangan dan dorongan mengkonsumsi yang menggantikan etika kerja yang menekankan disiplin, kerja keras, anti kemalasan, dan panggilan spiritual. Sementara itu postmodernisme dimengertinya sebagai wacana pemikiran baru yang menggantikan modernisme. Postmodernisme meluluhlantakkan konsep-konsep modernisme seperti adanya subyek yang sadar diri dan otonom, adanya representasi istimewa tentang dunia, dan sejarah linier (Adian: 2001).
 Sama dengan Adian, Anthony Giddens ternyata juga membedakan postmodernisme dari postmodernitas. Postmodernisme, jika sungguh-sungguh ada, menurut Giddens sebaiknya diartikan sebagai gaya atau gerakan di dalam sastra, seni lukis, seni plastik, dan arsitektur. Gerakan ini memperhatikan aspek-aspek aesthetic reflection dari modernitas. Sementara itu postmodernitas dimengertinya sebagai tatanan sosial baru yang berbeda dengan institusi-institusi modernitas. Namun, alih-alih menggunakan istilah postmodernitas, Giddens lebih suka menggunakan istilah “modernitas yang teradikalisasi” (radicalized modernity) untuk menggambarkan dunia kita yang mengalami perubahan hebat dan sedang melaju kencang bak Juggernaut yang tak bisa lagi dikendalikan, suatu dunia yang mrucut (runaway world). Alih-alih setuju dengan postmodernitas yang mewartakan berakhirnya epistemologi, Giddens lebih percaya bahwa apa yang terjadi sekarang ini adalah “modernitas yang sadar diri (Giddens: 2001).
Sementara itu tulisan, Bambang Sugiharto mengatakan bahwa ‘postmodernisme’ memang merupakan istilah yang kontroversial sekaligus ambigu. Postmodernisme itu bagaikan rimba belantara yang dihuni oleh aneka satwa--suatu istilah yang “memayungi” segala aliran pemikiran yang satu sama lain seringkali tak persis saling berkaitan. Namun kiranya cukup jelas, katanya, bahwa dalam postmodernisme gagasan-gagasan seperti “filsafat”, “rasionalitas”, dan “epistemologi” dipertanyakan kembali secara radikal. Problem postmodernisme menurut dia adalah problem keterbatasan bahasa, khususnya keterbatasan fungsi deskriptif bahasa. Dia mengusulkan agar bahasa dilihat fungsi transformatifnya. Muncullah metafor mula-mula diperkenalkan oleh Ricoeur—yang dapat menjadi titik terang untuk melihat persoalan-persoalan yang diajukan oleh postmodernisme. Metafor tidak menunjukkan suatu kebenaran absolut, melainkan suatu “kebenaran yang bertegangan” (tensional truth) (Bambang Sugiharto: 2000).
Lain lagi dengan, Terry Eagleton, mengungkapkan dalam The Illusions of Postmodernism bahwa biasanya memang dibedakan antara postmodernisme dan postmodernitas. Pembedaan ini cukup berguna baginya. Akan tetapi, dia sendiri lebih senang menggunakan istilah postmodernisme, sebab istilah ini dapat mencakup keduanya. Postmodernitas biasanya dimengerti sebagai gaya berpikir yang curiga terhadap pengertian klasik tentang kebenaran, rasionalitas, identitas, obyektivitas, curiga terhadap ide kemajuan universal atau emansipasi, curiga akan satu kerangka kerja, grand narrative atau dasar-dasar terdalam dalam penjelasan. Berlawanan dengan norma-norma pencerahan ini, postmodernitas melihat dunia sebagai yang kontigen, tak berdasar, tak seragam, tak stabil, tak dapat ditentukan, seperangkat kebudayaan yang plural atau penafsiran yang melahirkan skeptisisme terhadap obyektivitas kebenaran, sejarah dan norma-norma, kodrat yang terberikan serta koherensi identitas. Sementara itu postmodernisme dimengerti sebagai gaya kebudayaan yang merefleksikan sesuatu dalam perubahan jaman ini ke dalam suatu seni yang diwarnai oleh ketakmendalaman, ketakterpusatan, ketakberdasaran; seni yang self-reflexive, penuh permainan, ekletik, serta pluralistik. Seni semacam ini mengaburkan batas antara budaya ‘tinggi’ dan budaya ‘pop’, antara seni dan hidup harian (Terry: 1996).

Artikel Terkait

Antara Realitas dan Hiperealitas
4/ 5
Oleh

Berlangganun

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email